Folklore – Sebagai salah satu makhluk supranatural terkenal asal negara Jepang, ternyata Tengu memiliki sejarah perkembangan yang cukup Panjang dari segi penggambaran serta hubungan mereka dengan masyarakat di sana. Tengu yang kini lebih dikenal sebagai salah satu kami atau dewa dalam kepercayaan Shinto yang dipercaya menetap serta melindungi gunung itu dahulu lebih dikenal sebagai yokai pengganggu yang kerap menggangu para biksu dalam ajaran Buddha.
![]() |
Topeng tengu (© Flickr/mamako_k) |
Sejarah Panjang tersebut memiliki banyak pergeseran sehingga
mempengaruhi gambaran dari sifat hingga tampilan fisik dari sosok Tengu yang
ada saat ini. Seperti dilansir dari laman web Tofugu, beberapa perubahan kisah
Tengu dari masa ke masa dapat dibagi dalam beberapa satuan waktu berbeda.
Abad ke-9 hingga Abad ke-10
Pada abad ke-9 dan ke-10, Tengu digambarkan sebagai iblis
gunung penipu, dan melakukan hal-hal usil yang dilakukan yokai pada umumnya
seperti: memikat orang ke dalam hutan dengan suara musik, melempar kerikil ke
rumah-rumah, dan muncul sebagai will-o-the-wisp (kalau di Indonesia mirip-mirip
Banaspati lah wujudnya). Mereka juga dikisahkan kerap menjadi dalang kebakaran.
Seperti yang dikatakan seorang penulis, “Segala sesuatu yang aneh dan misterius
dapat dikaitkan dengan mereka,” dengan kata lain mereka ini adalah definisi umum
tentang yokai.
Berbeda dengan gambaran Tengu kini, Tengu pada masa ini
bukan iblis kuat seperti yang dikenal saat ini. Dalam cerita paling awal, Tengu
cukup mudah dikalahkan. Dalam satu cerita yang mengisahkan kekuatan perubahan
bentuk mereka, salah satu Tengu berubah menjadi Buddha lalu muncul di pohon
yang dikelilingi oleh cahaya terang dan hujan bunga. Seorang pendeta cerdik
yang mengetahui triknya, duduk, dan menatapnya selama satu jam. Kekuatan Tengu habis
guna mempertahankan wujudnya lalu berubah menjadi alap-alap dan jatuh dari
pohon dengan sayap patah.
Cerita itu mengandung bibit tentang bagaimana perkembangan gambaran
dari yokai ini dalam agama Buddha. Akibatnya, berbeda dengan yokai lain, Tengu
telah memiliki peran khusus sebagai musuh iman pada kepercayaan Buddha.
Abad ke-11 hingga Abad ke-12
Pada abad ke-11, telah banyak cerita seputar Tengu yang
tercatat, dan dikumpulkan dalam 31 volume yang disebut Konjaku Monogatari (saat
ini hanya 28 volume yang masih tersisa). Dalam kumpulan cerita ini kita banyak
disuguhkan tentang cerita Tengu yang berubah bentuk menjadi Buddha untuk menipu
para biksu. Memperdaya pendeta Buddha sudah menjadi salah satu keusilan favorit
mereka, dengan mencoba menipu para pendeta itu agar mencari dan mempelajari
kekuatan dari Tengu alih-alih mengambil jalan menuju pencerahan yang sebenarnya.
![]() |
Patung Tengu pada sebuah kuil (© Flickr/Daisuke FUJII) |
Trik Tengu ini cukup efektif menyesatkan para biksu, hingga disebutkan
dalam suatu kisah tentang seorang pendeta dari gunung (Yamabushi) yang berhasil
menyembuhkan seorang kaisar dari sakit, namun gelagatnya dicurigai oleh para
pendeta istana. Akhirnya pendeta Yamabushi itu mengaku sambil menangis memohon ampun:
“Selama bertahun-tahun saya telah berdoa kepada Tengu dan
memuja mereka agar mendapat ketenaran, tapi itu sungguh suatu kesalahan besar” katanya
sambil memohon ampun.
Lantas kenapa pendeta itu menyesal? Rupanya disebutkan jika
memperlajari kekuatan dari Tengu tidak akan membawanya kepada pencerahan sejati,
bahkan setelah menyelamatkan nyawa seorang kaisar sekalipun. Dalam perspektif
sebagai penganut ajaran Buddha, fokus utama adalah mencarai pencerahan, bukan
malah mencari ketenaran serta pujian atas prestasi seperti menyelamatkan nyawa
orang yang berkuasa. Bahkan pada abad ke-12 mulai muncul gagasan bahwa pendeta
yang buruk atau jahat akan berakhir menjadi Tengu setelah mati.
Seiring berjalannya waktu, aksi keusilan Tengu mulai
mengarahkan sasaran mereka pada target yang lebih tinggi daripada target sebelumnya,
dari yang tadinya menargetkan orang biasa dan pendeta Buddha. Dalam satu
cerita, seorang kaisar menjadi buta, tetapi sesekali mengalami kilatan
penglihatan. Tengu (yang mengambil wujud hantu seorang pendeta) muncul dan
menjelaskan apa yang terjadi:
"Saya menunggangi leher Kaisar dan menutupi matanya
dengan sayap saya; ketika saya mengepakkan sayap saya, dia dapat melihat
sedikit." Katanya.
Sebagai catatan pada kisah terkait Tengu pada masa ini
ataupun kisah yokai pada umumnya, belum digambarkan atau divisualisasikan
seperti saat ini. Pada masa itu penggambarannya masih berupa rangkaian fenomena
aneh dengan sangat minin referensi penggambaran wujud visualnya, bahkan lebih
sering tanpa penggambaran atau digambarkan tidak terlihat.
Gambaran paling awal yang tercatat masa itu mungkin terkait
pada kepercayaan dari negara lain. Di mana di awal visualisasinya terdapat
kemiripan yang dekat antara gambar Tengu dan Garuda, entitas berbentuk burung dalam
kepercayaan agama Buddha dan Hindu.
Selain kisah Tengu yang memperdaya manusia, ada pula kisah
tentang Tengu bernama Sōjōbō (Soujoubou) yang cukup dikenal pada abad ke-12
karena mengajari seorang prajurit bernama Minamoto no
Yoshitsune (masa kecilnya dikenal dengan nama Ushiwaka-maru atau Shanao) tentang seni pedang, taktik, dan sihir. Sebenarnya, nama “Sōjōbō” berasal dari
Sōjōgatani, lembah di Gunung Kurama dekat Kuil Kibune yang terkait dengan
Shugenja. Di lembah inilah Ushiwaka yang nantinya akan dikenal sebagai Minamoto
no Yoshitsune, berlatih dengan Sōjōbō dalam legenda. Hubungan ini menjadi dasar
dari banyak cetakan balok kayu Jepang, termasuk salah satunya oleh Tsukioka
Yoshitoshi. Begitupula di beberapa desa di Jepang, para orang tua menyebarkan
mitos bahwa Tengu ini akan memakan anak kecil, untuk menghentikan mereka pergi
ke hutan di malam hari.
Abad ke-13 hingga Abad ke-18
Pada masa ini Tengu mulai muncul dengan menyerupai seorang Yamabushi
(pendeta/pertapa gunung), karena kala itu Tengu digambarkan mengenakan pakaian
tradisional yang dikenakanakan oleh para Yamabushi, bahkan beberapa pengambaran
Tengu yang ada saat ini masih mengikuti visualisasinya kala itu. Namun berbeda
dengan sifat para Yamabushi yang rendah hati, para Tengu ini muncul dengan keinginan untuk dipuja oleh manusia. Pada waktu
yang sama, Tengu juga mulai mendapatkan reputasi mereka atas keahliannya dalam
seni bela diri. Terlebih setelah kisah tentang seorang samurai ternama bernama
Minamoto no Yoshitsune yang mempelajari ilmu pedang terkenalnya dari Tengu bernama
Sōjōbō (Soujoubou) beberapa dekade sebelumnya.
Pada sekitar abad ke-14 visualisasi rupa Tengu mulai lebih menyerupai
manusia, pada saat itulah versi Tengu dengan hidung panjang mulai muncul. Evolusi
dari rupa Tengu ini dari waktu ke waktu dapat dibagi dalam beberapa tahap;
pertama awalnya mereka digambarkan berwujud burung pemangsa (seperti elang
ataupun gagak), kemudian digambarkan sebagai manusia berkepala burung dengan
paruh burungnya, hingga akhirnya penggambaran paruh itu berubah menjadi hidung panjang
yang cukup terkenal saat ini. Namun demikian, bukan berarti varian Tengu dengan
tampilan yang lebih kuno hilang begitu saja, varian Tengu yang lebih lawas
seperti Tengu berkepala burung tetap ada dalam kepercayaan masyarakat, hanya
saja, terdapat kepecayaan bahwa Tengu dengan tampilan yang lebih baru serta
lebih manusiawi adalah jenis Tengu yang lebih unggul dalam segi kekuatan dan
sebagainya.
Pada abad ke-17 cerita mulai menggambarkan Tengu memiliki
kekuatan fisik yang besar dalam wujud terbaru yang lebih manusiawi, hingga terdapat
cerita tentang Tengu yang hidup dan mendiami pegunungan tertentu, yang dapat memiliki
sifat yang baik atau jahat. Tujuan keusilan mereka pun menjadi lebih luas, seperti
mengganggu masyarakat secara umum hingga memprakarsai terjadinya perang. Daripada
hanya berfokus menganggu penganut ajaran agama Buddha seperti sebelumnya.
Abad ke-19 hingga Saat Ini
Pada Abad ke-19 dan seterusnya cerita seputar Tengu mulai
lebih sering diceritakan dan lebih familiar didengar. Seperti cerita di mana
seorang pendeta tiba-tiba berubah menjadi Tengu, menumbuhkan sayap lalu terbang
menjauh. Pada masa ini juga terdapat cerita seputar Tengu yang dikatakan mampu mengendalikan hujan, angin,
dan guntur (mereka juga dikisahkan mampu menyebabkan badai ketika mereka marah serta
dapat membuat angin puyuh yang menerbangkan orang ke udara).
![]() |
Kostum Tengu dalam pawai (© Flickr/Nikita) |
Ada juga cerita di mana Tengu digambarkan sebagai sosok yang
baik, atau di mana saat kemarahan mereka dapat diredakan. Kini bahkan mereka lebih
dikenal sebagai sosok penjaga hutan atau gunung yang mereka tinggali, hingga
terdapat kepercayaan jika kamu ingin menebang kayu di suatu hutan, kamu harus
menenangkan mereka dengan memberi persembahan berupa kue beras atau ikan (yah
mirip-mirip ritual memberi sesajen jika di Indonesia sepertinya). Ada cerita
tentang vihara yang tamannya selalu bersih tanpa ada yang merawat atau menyapu,
bahkan semua pintu dan gerbang dibiarkan terbuka karena dipercaya pencuri yang
masuk ke sana tidak akan menemukan jalan keluar. Dipercaya semua itu terjadi
berkat satu sosok Tengu yang melindungi vihara itu.
Pada masa yang lebih modern seperti saat ini, cerita ataupun
referensi seputar Tengu sudah kerap digunakan dalam beberapa pop culture
di Jepang, seperti dalam game, anime serta manga. Di Jepang sana, bahkan terdapat
juga perayaan atau festival khusus yang diadakan di kuil-kuil yang terletak di daerah
pegunungan yang konon dipercaya ditinggali oleh Tengu. Festival ini menampilkan
pawai dengan beberapa orang akan mengenakan kostum Tengu. Bahkan festival Tengu
ini dibeberapa tempat sampai menjadi agenda yang rutin diadakan setiap tahunnya,
seperti Festival Shimokitazawa Tengu yang rutin diadakan pada 3 hari terakhir
di bulan Januari pada tiap tahunnya di Tokyo, Jepang.
Kurang lebih seperti itulah sejarah perjalanan dari penggambaran Tengu di Jepang dari masa ke masa.
Referensi
Tofugu - https://www.tofugu.com/japan/tengu/Traditional Kyoto - https://traditionalkyoto.com/culture/sojobo/