Wisanggeni, Kisah Pemuda Tumbal Kemenangan Perang yang Dibuang saat Lahir

Wisanggeni putra Dresanala dan Arjuna yang sejak lahir dibuang ke kawah candradimuka itu akhirnya mati muda jadi tumbal kemenangan perang Baratayuda

Wayang – Kali ini saya akan berbagi tentang kisah Wisanggeni, karakter pewayangan yang jadi salah satu tokoh pewayangan kesukaan saya, setelah karakter Adipati Karna tentunya. Dalam cerita pewayangan, karakter satu ini termasuk over power atau sakti. Bahkan dalam lingkup Mahabharata versi pewayangan Jawa, karakter Wisanggeni merupakan salah satu tokoh terkuat bersama dengan sepupunya sesama putra turunan pandawa lain, yaitu Antasena.

Keduanya bisa saja meluluh lantahkan dunia dengan kekuatan mereka jika mau, namun untungnya mereka terlahir dikalangan protagonist yang berbudi luhur sehingga pikiran serta tindakan mereka diatur untuk tujuan kebaikan saja. 

Ilustrasi wayang Wisanggeni
Ilustrasi wayang Wisanggeni (© Bima Adi Nugroho)

Walaupun sangat sakti, karakter-karakter ini tidak tampil dalam babak puncak peperangan Baratayuda dalam kisah Mahabharata, karena keduanya harus mati terlebih dahulu sebagai tumbal kemenangan pihak Pandawa atau pihak baik dalam cerita. Bersamaan dengan alasan jika mereka turut serta, maka perang Baratayuda akan berakhir dalam hitungan waktu atau jam saja. Akibat saking timpangnya kekuatan kedua belah pihak jika tokoh-tokoh ini ikut serta. Menjadikan nilai serta tujuan dari perang antar kebaikan dengan keburukan itu tidak akan terlihat, karena ketimpangan yang ada di dalamnya. 

Berdasarkan dalih asas kesetaraan ini tokoh wisanggeni ditumbalkan dalam cerita, walaupun ada alasan lain kenapa tokoh ini tidak tampil di perang puncak Baratayuda, tentu karena karakter satu ini adalah karakter asli buatan epos Mahabharata versi Jawa yang tidak ada di cerita asli versi India. Pada akhirnya, supaya tidak merusak jalan cerita dan membuat kebingungan, tentu karakter ini harus dihilangkan dalam cerita akhir.

Siapa sebenarnya karakter original pewayangan Jawa ini dan kenapa bisa memiliki kekuatan yang sangat over power dan sakti, sampai harus dimatikan sebelum puncak perang terjadi? Akan saya coba uraikan nilai-nilai yang terdapat dalam karakter ini, yang juga menjadikan penokohannya mendapat banyak simpati dan digemari dalam cerita pewayangan.

Wisanggeni, Dibuang Sejak Dini dalam Bara Api

Dalam cerita pewayangan jarang sekali muncul karakter sakti tak tertandingi yang murni keturunan sepasang manusia. Biasanya karakter sakti dalam cerita adalah dewa, manifestasi dewa, keturunan dewa, keturunan buto atau raksasa dan sebagainya. Wisanggeni sendiri bukanlah keturunan murni manusia karena secara silsilah, dia lahir dari pasangan seorang Ibu bernama dewi Dresanala salah satu bidadari kayangan dengan Arjuna yang secara teknis juga adalah keturunan dewa Indra.

Berdasarkan sepenggal silsilah ini saja, kita sudah bisa membayangkan mengapa tokoh Wisanggeni bisa sangat sakti serta over power dalam lakon pewayangan. Pertama karena sosok ayahnya, Arjuna adalah salah satu karakter over power serta kesayangan para dewa di universe pewayangan. Membuat karakter ini selalu mendapat plot armor yang membuatnya kerap meraih kemenangan dalam pertarungan. Tidak hanya itu, bahkan karakter ini juga dikisahkan dicintai banyak karakter wanita dalam cerita pewayangan, sungguh definisi anak emas author.

Ilustrasi kawah api candradimuka
Ilustrasi kawah api candradimuka (© Pexels)

Kembali ke cerita Wisanggeni, secara garis keturunan saja bisa ditebak akan sekuat apa anak ini setelah lahir kelak. Namun malangnya, kabar keberadaannya bahkan sudah menimbulkan penentangan dari pihak dewa Kayangan karena tidak menghendaki adanya penyatuan antar kalangan dewa dengan manusia. Salah satu tokoh paling depan yang menolak penyatuan beda kasta ini adalah sang kakek jabang bayi sendiri atau bapak dari Dresanala, yaitu Batara Brahma atau dewa Brahma yang berlaku demikian atas desakan Batara Guru selaku tetua para dewa Kayangan, yang juga dihasut oleh istrinya dewi Durga. 

Siasat sedemikian rupa pun dilakukan, setelah mengusir Arjuna dari kayangan Batara Brahma kemudian malakukan upaya kekerasan pada putrinya sendiri agar janin cucunya dapat lahir sebelum waktunya. Janin itu kemudian dibawa oleh sang kakek untuk dimusnahkan dengan menceburkannya ke kawah candradimuka di gunung Jamurdipa.

Atas kehendak semesta, riwayat sang janin tidak berakhir begitu saja. Alih-alih hangus menjadi abu, si janin ini justru selamat dan seketika tumbuh sebagai pemuda tampan nan gagah dalam kawah berapi. Sang kakek yang segera pergi sebelum kejadian itu terjadi, tentu tidak mengetahui jika si janin tersebut  mewarisi kekuatan dari dirinya, yang dikenal sebagai dewa penguasa api.

Batara Narada salah satu dewa Kayangan yang tidak setuju dengan rencana pemisahan Dresanala dan Arjuna ternyata sedari awal telah mengawasi kejadian tersebut dari kejauhan. Batara Narada lalu membantu pemuda tersebut keluar dari kawah berapi. Sembari menceritakan asal-usul kelahirannya kepada si pemuda, Batara Narada juga sempat memberikan nama padanya. Wisanggeni, itulah nama yang diberikan Batara Narada padanya. Nama itu diambil dari kata wisa (bisa/racun) dan geni (api) yang bermakna racun api. Nama ini diberikan setelah melihat kemarahan dewa api Brahma pada janin cucunya, justru membuat si janin mampu membakar panas kawah berapi disekitarnya. Dikisahkan juga keajaiban tersebut terjadi juga berkat restu Sang Hyang Wenang, salah satu entitas tertua dalam silsilah dewa dalam pewayangan.

Begitulah awal mula karakter Wisanggeni hadir dalam dunia pewayangan. Terdapat beberapa versi tentang lahirnya Wisanggeni seperti tokoh yang membantunya keluar dalam kawah berapi dan memberinya nama, bukanlah Batara Narada melainkan Semar dan sebagainya, namun alur utamanya masih sama. Bagian selajutnya akan menceritakan kekuatan, serta tingkah tidak wajarnya yang membuatnya banyak digemari.

Apa itu Tata Krama bagi Wisanggeni?

Sebagai anak yang tumbuh besar tanpa didikan tata krama dari orang tuanya, Wisanggeni yang juga diceritakan tidak mengenal kedua orang tuanya ini, tidak bisa berbahasa sopan kepada lawan bicaranya. Dalam pewayangan, Wisanggeni dalam dialognya biasa menggunakan Bahasa Jawa “ngoko” kepada setiap lawan bicaranya, dimana penggunaan gaya Bahasa ini normalnya digunakan antar teman sebaya atau kalangan usia yang sama, serta status hirarki yang satu tingkat dengan kita.

Menggunakan gaya Bahasa ini pada yang lebih tua ataupun memiliki kasta lebih tinggi akan dianggap kurang sopan. Namun bagi Wisanggeni siapapun lawan bicaranya, dia tetap menggunakan Bahasa ngoko. Karena kesopanan bisa digunakan untuk menipu lawan bicara, karenanya dia lebih memilih berujar apa adanya meski terkesan ceplas ceplos, namun tujuan aslinya dapat disampaikan dan dimengerti secara langsung. 

Akibat cara bicaranya yang dianggap kasar ini, Wisanggeni sering disalah persepsikan sebagai sosok yang angkuh dan tidak tau tata krama. Adapun dibalik penokohannya yang seperti itu juga tercermin sifat jujur serta tidak bertele-tele dalam karakternya. Wisanggeni cuma diketahui menggunakan Bahasa kromo atau halus hanya pada saat berbicara dengan Sang Hyang Wenang.

Ksatria Wiji Sejati serta Satu dari Dwitunggal Pilih Tanding

Wisanggeni adalah sosok yang menjunjung tinggi kebenaran, ia juga sosok yang dikenal berani apalagi menyangkut melawan kebatilan dan angkara murka. Maklum, karena Wisanggeni ini termasuk dalam kelompok protagonist dalam pewayangan yang pasti merepresentasikan nilai-nilai keluhuran dan kebaikan. 

Namun demikian, keberaniannya ini juga didukung oleh kepintaran serta kekuatan dalam dirinya. Wisanggeni seperti sempat disebutkan diatas merupakan satu dari dua tokoh paling sakti dan over power dalam cerita. Kesaktiannya hanya dapat disandingkan dengan saudara sepupunya, Antasena putra Bima kakak Arjuna. Mungkin yang bisa membedakan keduanya hanya cara bersikap dan gaya berbicaranya saja. Bila Antasena dikenal terkesan lugu dan polos dalam tindakan serta pikirannya, Wisanggeni dikenal sebagai pribadi yang banyak akal dan penuh pertimbangan. Gaya berbahasa keduanya pun sebenarnya sama, keduanya sesama pelafal Jawa ngoko. Adapun yang membedakan hanya pembawaan ketika berbicara, jika Wisanggeni terkesan pelan dan halus namun Antasena dalam berbicara selalu grusa grusu sehingga terdengar lebih kasar.

Karena kedekatannya itu kedua karakter ini sering kali tampil bersama dalam beberapa lakon pewayangan, memiliki kemiripan sifat serta sama-sama sakti dan over power membuat keduanya sering disebut sebagai dwitunggal pilih tanding dalam pewayangan karena dua tokoh ini bagai dua entitas yang saling terkait erat serta selalu bersama, terlebih keduanya sama-sama tidak tertandingi. Bahkan keduanya juga diceritakan berbagi pusaka yang sama bernama gada inten.

Adapun dari segi kekuatan, keduanya sesama level top tier di pewayangan, dan dikisahkan mampu menandingi para dewa kayangan. Khusus Wisanggeni alasan kekutannya selain kesaktian yang diturunkan dari kakekya sang dewa api, Batara Brahma. Seperti ayahnya yang menjadi anak emas para dewa, dirinya juga merupakan anak kesayangan dewa. Namun, bukan sembarang dewa kayangan, melainkan leluhur para dewa bernama Sang Hyang Wenang. Disebutkan bahwa kelahirannya di dunia adalah akibat adanya restu serta perlindungan dari Sang Hyang Wenang dan setiap kehadiran Wisanggeni juga disertai kehadiran Sang Hyang Wenang. Akibatnya Wisanggeni juga dijuluki sebagai Ksatria Wiji Sejati.

Pemuda yang Menuntut Kebenaran serta Menggugat Kebatilan pada Sesepuhnya 

Sebelumnya diceritakan bahwa janin Wisanggeni dibuang oleh kakeknya Batara Brahma yang aksinya didukung pihak dewa Kayangan, melalui cerita Batara Narada. Wisanggeni yang mengetahui itu sempat menanyakan perihal tingkah para dewa kayangan yang bertindak seenaknya sendiri dan mungkar kepada dirinya. Demi menuntut balas dan mengetahui jati diri dan asal usulnya Batara Narada menyuruh Wisanggeni pergi ke kayangan, berbekal kekuatan yang didapat dan dimiliki. Wisanggeni menghajar para elite dewa Kayangan seperti sang kakek Batara Brahma hingga pemimpin kayangan Batara Guru dibuatnya takluk. Setelah aksi geger geden di kayangan tersebut, Batara Narada muncul dan menjelaskan duduk permasalahan sehingga para dewa kayangan akhirnya bertobat dan mengakui kesalahan mereka. 

Wayang Wisanggeni
Wayang Wisanggeni (© Facebook/Hok Gie)

Ternyata masalah belum berakhir di sana, Ibu Wisanggeni ternyata telah dibawa kabur oleh Dewasrani untuk dijadikan istri. Mengetahui hal itu Wisanggeni disarankan menemui ayahnya, Arjuna demi menolong Ibunya dewi Dresanala. Pergilah dia ke Amartapura demi menemui ayahnya, karena kedatangannya yang mendadak serta sopan santunnya yang kurang, menyulut emosi para Pandawa dan mengakibatkan Wisanggeni terlibat duel dengan para elite kerajaan Amartapura seperti Bima, Gatot Kaca, hingga Antareja. Semua dilibas Wisanggeni, sampai pada giliran Antasena. Alih-alih berduel justru Antasena mengajak Wisanggeni berdialog dan menyampaikan alasan kedatangannya. Alhasil setelah mengetahui tujuannya sang kakak sepupu ini kemudian merangkul dan membawa Wisanggeni menemui Arjuna. 

Arjuna si womanizer dunia pewayangan itu tidak lantas mengakui Wisanggeni sebagai anaknya sebelum melihat kemampuannya dalam duel, tentu saja duel sengit itu dimenangkan Wisanggeni. Setelah mengakui Wisanggeni sebagai anaknya, keduanya lantas pergi menemui Dewasrani dan membebaskan Dewi Dresanala. Wisanggeni dalam upayanya menyatukan keluarganya kembali ini mencerminkan sikap berani yang dimiliki Wisanggeni meskipun masih muda dia tidak segan menemui dan mengkoreksi kesalahan orang yang lebih tua darinya dan menyampaikan kebenaran pada mereka.

Dalam beberapa lakon seperti Wisanggeni Lahir, Wisanggeni Duto ataupun Wisanggeni Moksa, tokoh ini kerap diceritakan tidak segan menuntut keadilan bahkan pada sosok yang lebih tua darinya, bahkan meskipun sosok tersebut adalah dewa sekalipun. Akibat dari buah kecerdasan serta pemikirannya yang selalu mencari kebenaran. Banyak sekali buah pemikirannya yang terkesan "edan" atau gila, namun tujuannya akhirnya benar. Untungnya lakon-lakon tersebut biasa dilakoni Wisanggeni tidak seorang diri, kerap kali sosok Antasena mendampingi lakon edan adiknya tersebut. Biasanya keduanya akan berbagi peran dimana Wisanggeni sebagai akal (otak) sedangkan Antasena sebagai okol (otot).

Rela Moksa demi Tumbal Kebajikan

Sebagaimana disebutkan di awal bahwa Wisanggeni adalah karakter gubahan Mahabharata original versi Jawa dan tidak ada dalam perang puncak Baratayuda. Tentu saja sebagai tokoh tambahan kehadirannya akan merubah cerita jika ditampilkan namun dalam cerita pewayangan kisah tidak adanya Wisanggeni dalam perang Baratayuda memiliki nilai luhur yang patut diteladani. Dikisahkan sebagai karakter over power bersama sepupunya Antasena mampu datang menemui Sang Hyang Wenang semau mereka. Sebelum perang berlangsung kedua putra Pandawa ini berniat meminta restu kemenangan dan sowan atau berkunjung bertemu Sang Hyang Wenang, namun setelah meminta restu keduanya justru diminta untuk moksa atau mati dan melepaskan keduniawian sebagai syarat pihak Pandawa mendapatkan kemenangan.

Keduanya diperintahkan moksa bukan tanpa sebab, karena saking kuatnya hingga jika mereka ikut serta dalam perang maka pihak musuh tidak akan mampu bertahan lama setelah perang dimulai, karena pihak Kurawa yang melambangkan kebatilan tidak memiliki pesaing sebanding untuk mereka. Jika demikian nilai perang antar kebajikan melawan kebatilan tidak akan terlihat dalam perang nantinya. Keduanya pun patuh dan menuruti keinginan Sang Hyang Wenang karena selain keduanya menguasai kemampuan weruh sadurunge winarah (tahu sebelum sesuatu terjadi) keduanya juga menjunjung nilai kebajikan dalam dirinya, sehingga jika kehadiran dirinya mengakibatkan pihak kebenaran tidak akan menang melawan kebatilan maka keduanya memilih merelakan kehidupannya demi terwujudnya kebenaran. Suatu gambaran nilai ikhlas yang cukup tinggi dari mendermakan miliknya sendiri demi kebaikan yang diterima oleh orang lain.


Tertarik pada literatur tentang Biologi, sejarah peradaban kuno dan pop culture Jepang

Posting Komentar

-->