Kisah Adipati Karna, Ksatria di Antara Para Ksatria serta Lambang Perlawanan akan Perbedaan Kasta

Kisah Adipati Karna, tokoh pewayangan yang menjadi simbol ksatria, lambang dedikasi serta perlawan kasta. Dibuang oleh Ibunya dan mati di tangan adik

Wayang – Ksatrianya para ksatria, itu yang terlintas dalam pikiran saya jika mendengar nama Karna. Sebagai karakter asli dari epos Mahabharata India, Adipati Karna tidak mengalami banyak perbedaan cerita serta penokohan dalam lakon pewayangan lokal. Karakter ini juga merupakan karakter pewayangan yang paling saya sukai didasarkan pada backstory hingga penokohannya. Atas dasar tersebut saya dengan senang hati akan berbagi cerita hidup dari tokoh pewayangan satu ini.

Ilustrasi Wayang Adipati Karna
Ilustrasi Wayang Adipati Karna (© Bima Adi Nugroho)

Adipati Karna seperti tokoh pewayangan lain memiliki banyak nama atau sebutan lain, yang diambil dari peristiwa atau sejarah yang berkaitan dengannya. Salah satu nama lain Karna adalah Surya Putra yang berarti anak dewa Surya sang dewa Matahari. Nama aliasnya saja cukup untuk menjelaskan bagaimana kemampuan serta kekuatan tokoh Karna dalam cerita pewayangan.

Karakter ini bahkan selalu dimasukan dalam setiap pembahasan yang memperdebatankan tentang siapa kstaria pemanah terhebat pada massa itu? Jika pertanyaan ini ditujukan pada saya, maka dengan cepat saya pasti akan menjawab Karna lalu Ekalaya dan terakhir Arjuna berdasarkan urutan kemahiran serta ketekunannya. 

Itupun jika saya boleh menyebut berdasarkan bias tokoh yang hanya menggunakan panah sebagai senjata utamanya dalam pertempuran, mengesampingkan tokoh lain yang multitasking seperti Begawan Parasurama, Resi Druno hingga kakek para pandawa dan kurawa, Bisma. Karena dalam anggapan saya, mereka ini saking serba-bisa serta tangkas dalam menggunakan senjata selain panah. Tokoh-tokoh ini dapat menggunakan beragam senjata apapun saat berduel sehingga kesan pemanahnya agak kurang nampak dan menonjol.

Namun saya juga punya alasan mengapa menempatkan nama Karna serta Ekalaya di depan nama si womenizer Arjuna. Dalam anggapan saya tokoh Arjuna ini adalah karakter kesayangan author jadi wajar jika bisa menang dalam pertarungan melawan kedua tokoh tadi, terutama Karna. Mengutip istilah yang kini sering digunakan, Arjuna ini punya plot armor yang tebal sehingga selalu menang melawan siapa saja. Itulah kenapa saya tidak terlalu suka karakter bapak dari Wisanggeni satu ini.

Cukup bergunjing tentang Arjuna, saya akan kembali membahas kenapa karakter Adipati Karna yang selalu berhasrat mengejar title sebagai pemanah terbaik di dunia ini layak dinobatkan sebagai ksatria diantara para ksatria.

Berkah dari Matahari yang dibuang ke Sungai

Sebelumnya sudah disebutkan bahwa Karna ini adalah keturunan dewa Surya, walau kejadian ini terjadi karena suatu kecelakaan semata. Diriwayatkan putri Kunti yang masih gadis mendapatkan suatu berkah sebagai hadiah budi baiknya, pemudi satu ini layaknya anak seusianya punya rasa penasaran tinggi. Maka dicobalah berkah yang hanya bisa diakses melalui rapalan doa tersebut, karena sosok yang terlintas dalam pikiran Kunti kala itu adalah Matahari maka ditujukan doa tersebut pada dewa Surya.

Prosedurnya sudah benar dan hasilnya juga sudah sesuai, hanya saja timingnya yang tidak tepat. Karena kepolosannya, Kunti mendapatkan seorang anak bayi sebagai berkah Matahari yang mewarisi kemampuan dewa Surya. Kunti yang iseng berdoa meminta berkah mendapatkan anak keturunan yang mewarisi kemampuan dewa siapa saja, sesuai yang dia panggil pun binggung setelah doanya dikabulkan, Bagaimana bisa seorang gadis yang belum menikah memiliki anak? Bagaimana tanggapan orang jika seorang putri kerajaan memiliki anak tanpa suami? 

Diliputi rasa kalut dan bingung akhirnya Kunti menitipkan putra yang dia sayangi itu pada arus sungai yang kemudian hanyut bersama takdir besar yang menyertai si anak kedepannya. 

Apakah Kunti Ibu yang buruk? Kala itu menurut saya tidak, tapi di momen-momen kedepannya Kunti adalah Ibu paling buruk karena terus melakukan kesalahan yang sama, dengan tidak segera jujur mengakui Karna sebagai putranya yang menjadikan takdir Karna berakhir harus saling mengarahkan senjata pada adik, keponakan serta kerabatnya di perang akhir Baratayuda.

Hidup dalam Tradisi yang Mendiskreditkan Kasta Kelahirannya

Bayi Karna yang dihanyutkan di sungai kemudian ditemukan dan dirawat oleh sepasang suami istri yang doa serta penatiannya akan kehadiran seorang putra, akhirnya terjawab melalui kehadiran bayi titisan dewa Surya itu. Malang bagi Karna, meski kasih sayang dari orang tua penggantinya sangat melimpah padanya namun background kasta yang dimiliki kedua orang tuanya kelak akan menjadi sandungan besar di perjalanan hidupnya.

Wayang Adipati Karna
Wayang Adipati Karna (© ceritawayangkulit.wordpress.com)

Diberkahi kemampuan dan ketangkasan yang didapatnya sejak lahir, ditambah rasa haus ilmu serta ketekunannya belajar hal baru menjadikan Karna seorang bocah yang sangat berpotensi menjadi seorang ksatria hebat kelak. Namun malang, kasih sayang kedua orang tuanya yang tulus merawatnya sebagai anak juga otomatis melabeli dirinya sebagai kasta suta yang secara aturan tidak boleh mengambil jobdesk kasta lain seperti kasta ksatria yang diperbolehkan mempelajari ilmu peperangan serta memegang senjata. 

Nasihat kedua orang tuanya untuk meninggalkan kecintaan pada ilmu berperang diabaikannya, mungkin karena darah ksatria dalam dirinya menjadikan Karna sangat terobsesi pada seni perang meskipun tidak satupun antar Karna serta keluarganya tau asal-usulnya. Namun satu hal yang diketahui pemuda itu, bahwa dirinya akan menjadi bukti bahwa adanya kelas serta pengkotak-kotakan atas keturunan dalam masyarakat, tidak akan mengahalangi kompetensi seseorang di bidang keahliannya.

Menghadapi Penolakan dan Penghinaan di Setiap Langkah Hidupnya

Sepanjang hidupnya Karna selalu mendapat penolakan serta hinaan atas dasar kasta keturunannya, sebut saja :

Ditolak belajar sebagai murid oleh Resi Druno karena kasta,
Ditolak masuk arena saat menantang Arjuna karena kasta,
Ditolak ikut berperang saat Baratayuda oleh Bisma karena kasta, sampai
Ditolak lamarannya oleh Drupadi karena kasta.

Semua penolakan itu sepaket dengan olok-olok dan caci-maki yang dia terima karena dianggap telah lancang menerobos aturan yang ada di masyarakat. Namun hal-hal ini tidak mematikan keinginan Karna untuk tetap mencari “kekuatan” demi mendapat pengakuan atas dedikasi serta kompetensi dalam bidang yang dia tekuni. Ada salah satu kutipan tokoh Karna dalam serial Mahabharata asal India yang sempat ditayangkan di salah satu stasiun televisi Indonesia, dalam kutipannya Karna berkata bahwa,

“ Sungai tidak pernah mencari tahu asal dari air yang memasukinya, yang dia tau adalah kekuatannya. Dewa Siwa tidak pernah menanyakan asal bunga Teratai yang jadi persembahannya, yang dia tau adalah keindahannya. Lantas kenapa manusia harus menanyakan asal-usulnya? ”.

Kutipan yang Karna ucapkan setelah penolakan yang dia terima kala mengajak duel Arjuna di arena. Tidak ada satu orang pun yang berada di sana memberikan dukungan padanya, bahkan Kunti ibu kandungnya yang mengenali rupa anak kandungnya hanya diam, kedua orang tua angkatnya Adirata serta Radha juga mencoba mengurungkan niat sang anak demi menjauhkan lebih banyak cacian yang ditujukan pada anaknya tersebut.

Hanya ada satu orang, ya hanya satu orang dari pihak Kurawa yang mendukung Karna. Putra tertua pihak Kurawa Duryudana, menepikan tendensi awalnya yang hanya ingin menggunakan Karna sebagai alat bantu menjadi Raja Hastinapura namun dalam tiap momen kedepannya Duryudana benar-benar percaya dan mengakui kemampuan sahabatnya itu.

Duryudana saat itu juga dengan otoritasnya mengangkat Karna sebagai seorang Adipati dan menjadikannya berada pada kasta ksatria atas kemampuan serta dedikasi yang telah ditunjukkan dan diraih Karna seorang diri, Karna menjadi simbol perlawanan atas stigma dan aturan masyarakat yang memiliki keberpihakan serta tidak adil dalam penerapannya.

Putra Suta yang menjadi Refleksi Jiwa Ksatria 

Singkat cerita perang akhir Baratayuda pun tercetuskan, Adipati Karna yang seharusnya berada di pihak kebajikan memutuskan tetap berada di pihak kebatilan demi banyak alasan moral. Apakah dia tidak tahu pihak yang dipilihnya salah? Tentu dialah orang yang paling tau bahwa sahabatnya Duryudana adalah bentuk kemungkaran yang harus dihapuskan, namun dia terikat pada darma balas budi yang melekat pada dirinya kala tidak ada orang yang mengakui kemampuannya, hanya sahabatnya ini lah yang merangkul pundaknya melawan hinaan seluruh negeri padanya.

Apa dia tidak tahu kalau dia juga seorang Pandawa dan akan menghunuskan senjata pada adik-adiknya? Dia tau akan hal ini sebelum perang terjadi, namun meskipun Kunti memohon anaknya itu berpihak pada adik-adiknya. Momen mengharukan sudah sangat terlambat untuk terjadi, karena dia dan Arjuna telah saling bersumpah mencabut nyawa masing-masing saat bertemu di medan perang nanti. Janji yang telah diucapkan seorang kstaria dan tata cara balas budi telah melekat dalam diri Adipati Karna, sehingga dia berjanji pada Kunti bahwa dia tidak akan mengarahkan panahnya pada saudaranya selain Arjuna. Entah dia atau Arjuna, hanya ada satu Pandawa yang akan mati sehingga jumlahnya akan tetap lima ucapnya menutup perbincangan dengan Ibu yang membuangnya.

Karna ada dipihak kejahatan saat berperang, tidak kah dia tau itu salah? Sekali lagi, Karna sangat tau akan hal itu. Dikisahkan pada selang waktu yang berdekatan dengan Kunti, Krisna sang avatara Dewa Wisnu datang menemui Karna memintanya untuk meninggalkan medan perang. Semua ceramah tentang kebajikan diungkapkan Krisna pada Karna, namun hanya satu jawaban yang menjadi alasan Karna tetap akan ikut berperang nantinya. 

Dia berkata bahwa mundurnya dirinya dari perang justru akan membuat sahabatnya Duryudana memiliki kebimbangan untuk berperang, menjadikan tercetusnya perang antar kebajikan serta kebatilan mungkin bisa tidak terjadi serta pihak kebatilan tidak akan pernah menerima ganjaran atas perbuatannya. Adipati Karna rela menjadi batang kayu yang menjadi bahan bakar dimulainya perang meskipun tau bahwa dirinya sendiri bisa menjadi korban penumpasan kebatilan atas nama kebajikan nantinya.

Kalah dalam Perang karena Dilucuti dari Segala Sisi

Selama peperang belum terjadi takdir kekalahan Karna sudah dipastikan, atas dasar 1 kebaikan serta 2 kutukan yang melekat padanya. Segala tipu daya serta propaganda para dewa kayangan membuat takdir Karna harus mati di Baratayuda, bagaimana tidak jika dipihak Arjuna saja ada aktor intelektual seperti Krisna di sampingnya, sedangkan para dewa juga serempak banyak menjagokan tokoh womanizer Arjuna. 

Terlihat dari aksi dewa Indra yang dikisahkan adalah bapak dari Arjuna, juga memiliki tipu daya untuk membuat Karna mendermakan zirah serta anting-anting yang telah melekat pada dirinya kala lahir pada dirinya yang menyamar sebagai pengemis. Meskipun telah diberitahu oleh dewa Surya akan tipu daya ini, Karna tetap mendermakan zirah serta anting-anting miliknya yang sekaligus menurunkan kemampuannya dalam berduel dengan Arjuna kelak. Sebab selain tidak bisa menolak untuk berbuat kebaikan dan berderma, dia ingin membuktikan bahwa yang harusnya ditakutkan dari dirinya bukanlah alat bantu yang dia dapat saat lahir, melainkan kemampuan yang ada dalam dirinya akibat ketekunan yang diraihnya selama ini.

Ilustrasi kereta kuda
Ilustrasi kereta kuda (© Pexels)

Kedua kutukan yang membuat dirinya suatu saat akan kehilangan seluruh kemampuannya di saat genting yang diberikan oleh gurunya Begawan Parasurama karena tidak mengaku sebagai kasta ksastria kala belajar padanya (Bagaimana bisa mengaku kalau Karna sendiri saja juga tidak tau asal-usulnya?) hingga kutukan bahwa suatu saat kereta kuda yang dinaikinya akan terperosok dalam lubang dibantu dengan kusirnya kala itu yang juga memihak Arjuna, melengkapi garis nasib yang di tulis sang author untuk kemenangan Arjuna.

Karna yang berusaha mengeluarkan roda kereta kudanya dari lubang seorang diri, menanggalkan busur panahnya menjadikannya tanpa perlindungan. Atas desakan Krisna tentang nilai-nilai kebajikan di telinganya, Arjuna melepaskan anak panah ke leher sang putra Surya. Menjadikan dirinya kalah dalam duel yang dimenangkan atas segala tipu muslihat dan kepicikan yang telah diatur Krisna. Menjadikan nama Adipati Karna selalu dikenang sebagai salah satu ksatria yang tidak bisa dikalahkan Arjuna dalam pertarungan yang adil. Serta menjadikan nama Karna sebagai salah satu lambang ketekunan serta perlawanan melawan diskriminasi atas keturunan hingga saat ini.

Tertarik pada literatur tentang Biologi, sejarah peradaban kuno dan pop culture Jepang

Posting Komentar

-->